MAKALAH EUTHANASIA
Oleh Kelompok 2
Akbarul Rizki 15010097
Desi Eka Budi L 15010101
Dian Pratami 15010105
Elly Qurrotul A’yun 15010109
Hikmah Amalia 15010113
Jimi Hari 15010117
M. Khoiri Zamri 15010121
Nia Urbani 15010126
Nur Rahman J A 15010130
Siti Umi Kulsum 15010138
Reza Irianti P 15010134
Yoga Prima 15010142
Minna Ulya Sari 15010122
SEKOLAH TINGGI
ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER
PROGRAM STUDI S1
KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK
2015/2016
Jl.
dr. Soebandi No. 99 Jember, Telp/Fax. (0331) 483536
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Masalah euthanasia sudah ada sejak
kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Di sisi
lain, pasien sudah dalam keadaan kritis sehingga takjarang pasien atau
keluarganya meminta dokter untuk menghentikan pengobatan terhadap yang bersangkutan.
Dari sinilah dilema muncul dan menempatkan dokter atau perawat pada posisi yang
serba sulit. Dokter dan perawat merupakan suatu profesi yang mempunyai kode
etik sendiri sehingga mereka dituntut untuk bertindak secara profesional. Pada
satu pihak ilmu dan teknologi kedokteran telah sedemikian maju sehingga mampu
mempertahankan hidup seseorang (walaupun istilahnya hidup secara vegetatif).
Dokter dan perawar merasa mempunyai
tanggung jawab untuk membantu menyembuhkan penyakit pasien, sedangkan di pihak
lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah
sangat berubah. Masyarakat mempunyai hak untuk memilih yang harus dihormati,
dan saat ini masyarakat sadar bahwa mereka mempunyai hak untuk memilih hidup
atau mati. Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini
dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, hukum dan kemampuan serta
teknologi kedokteran yang sedemikian maju.
1.2.
Identifikasi Masalah
1) Apa Definisi
Euthanasia
2) Apa Hak
Pasien dalam kasus Euthanasia
3) Apa
Kewajiban Perawat dalam kasus Euthanasia
4) Bagaimana
Euthanasia Di Pandang dari Etik Dan Hukum
1.3.
Tujuan Penyusunan Makalah
Adapun
maksud dari penyusunan makalah ini untuk memperoleh informasi tentang
Euthanasia
1.4.
Kegunaan Makalah
Adapun kegunaan penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1)
Diharapkan
dapat berguna bagi penulis sendiri dan bermanfaat serta menjadi pedoman bagi
penulis lain yang berminat menyusun makalah dengan tema yang sama.
2)
Sebagai
sumbangan pemikiran atau bahan masukan khususnya bagi mata kuliah terkait.
1.5.
Metode Penulisan
Menggunakan metode pustaka
BAB II
KAJIAN
TEORI
I. Pengertian
-
Euthanasia (eu
= baik, thanatos = mati) atau good death / easy death sering pula disebut
“mercy killing” pada hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan kasihan,
sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri
(the right self of determination) pada diri pasien. Hak ini menjadi unsur utama
hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut.
Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam
bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas pemahaman
mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini
rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum
kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia
kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum
di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju
di pihak lain.
-
Menurut
Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy
killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang
secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.
-
Di dunia
etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti
“mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius
menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”. Euthanasia Studi
Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah
perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang
hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau
mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk
kepentingan pasien itu sendiri”.
Dilihat dari cara
melakukannya dikenal dua macam, yaitu euthanasia aktif jika dokter melakukan
positive act yang secara langsung menyebabkan kematian dan euthanasia pasif
jika dokter melakukan negative act tidak melakukan tindakan apa-apa yang secara
tidak langsung menyebabkan kematian.
II.
Klasifikasi euthanasia
a. Dilihat
dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi:
·
Voluntary
euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit dan
·
Involuntary
euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak
keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
b. Menurut Dr. Veronica
Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran dan staf pengajar pada Fakultas
Hukum UNPAD dalam artikel harian Pikiran Rakyat mengatakan bahwa euthanasia
dapat dibedakan menjadi:
ü Euthanasia aktif, yaitu
tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida
atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh pasien.
ü Euthanasia pasif.
Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan
bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau
tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan
kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara
tidak langsung medis melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang
membantunya untuk bertahan hidup.
ü Autoeuthanasia. Seorang
pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia
mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan).
Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia atas permintaas sendiri (APS).
c.
Eutanasia
ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Bila
ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga
kategori:
ü Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif,
adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan
dengan pemberian suatu senyawa yang
mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa
mematikan tersebut adalah tablet sianida.
ü Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia
otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu
kondisi dimana seorang
pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis
meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah
"codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada
dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang
bersangkutan.
ü Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai
tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau
langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia
pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan
tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien
yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat,
meniadakan tindakan operasi yang
seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat
penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan
mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara
terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang
menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena
ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus
keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada
permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa".
Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai
upaya defensif medis.
d.
Eutanasia
ditinjau dari sudut pemberian izin
Ditinjau
dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga
yaitu :
ü Eutanasia di luar kemauan pasien:
yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien
untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
ü Eutanasia secara tidak sukarela:
Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan
dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi
apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil
suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien
(seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini
menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak
untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
ü Eutanasia secara sukarela :
dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih
merupakan hal controversial
e.
Eutanasia
ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
ü Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy
killing)
ü Eutanasia hewan
ü Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah
bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela
f. Frans Magnis
Suseno membedakan 4 arti euthanasia mengikuti J.Wundeli yaitu:
ü Euthanasia
murni : usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek
kehidupannya.Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan dan pastoral agar yang
bersangkutan dapat mati dengan baik.Euthanasia ini tidak menimbulkan masalah apapun
ü Euthanasia pasif :tidak dipergunakannya semua
kemungkinan teknik kedokteran yang sebenarnya tersedia untuk memperpanjang
kehidupan
ü Euthanasia
tidak langsung:usaha memperingan kematian dengan efek sampingan bahwa pasien
mungkin mati dengan lebih cepat.Di sini kedalamnya termasuk pemberian segala
macam obat narkotik,hipnotik dan analgetika yang mungkin de facto dapat
memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.
ü Euthanasia aktif: proses kematian diperingan
dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung.Ini yang disebut
sebagai “mercy killing”.Dalam euthanasia aktif masih perlu dibedakan pasien
menginginkannya atau tidak berada dalam keadaan dimana keinginanya dapat di
ketahui.
III. Hak pasien dan pembatasannya
Penghormatan
hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan dari
seorang dokter terhadap pengobatannya.Hal ini berarti para dokter harus
mendahulukan proses pembuatan keputusan yang normal dan berusaha bertindak
sesuai dengan kemauan pasien sehingga keputusan dapat diambil berdasarkan
pertimbangan yang matang.Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk
memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberikan
informasi yang cukup sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang
jelas.Beberapa pasien tidak dapat menentukan pilihan pengobatan sehingga harus
orang lain yang memutuskan apa tindakan yang terbaik bagi pasien itu.Orang lain
disni tentu dimaksudkan orang yang paling dekat dengan pasien dan dokter harus menghargai
pendapat-pendapat tersebut.
IV.
Kewajiban perawat dalam kasus
euthanasia
a.
memfasilitasi
klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya
b.
membantu
proses adaptasi klien terhadap penyakit / masalah yang sedang dihadapinya
c.
mengoptimalkan
system dukungan
d.
membantu
klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang telah
dihadapi
e.
membantu
klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa sesuai dengan
keyakinannya.
V. Beberapa aspek euthanasia.
A. Aspek
Hukum.
Undang undang yang
tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama
euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan
berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam
aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan
euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut.
Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau
rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak
hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang
tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien
yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang
undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.
B. Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak
hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak
seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak
asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung
menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak
untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit
adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala
ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
C. Aspek Ilmu
Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran
dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk
mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu
kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk
tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia,
bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak
membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan
dana.
D. Aspek Agama.
Kelahiran dan kematian
merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang
mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan
ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun
alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak
Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun
dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat
dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi
putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya
sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak
pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari
pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis
bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk
mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum
waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka
dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian.
Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam
hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang
menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan
mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia
merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah
berbagai dalil untuk menopangnya.
VI.
Euthanasia dipandang dari aspek
hukum di Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka
euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat
pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345,
dan 359Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang
berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.
ü Pasal 344
KUHP
barang siapa menghilangkan jiwa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Untuk euthanasia aktif maupun pasif
tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.
ü Pasal 338
KUHP
barang siapa dngan sengaja
menhilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya
lima belas tahun.
ü Pasal 340
KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan
direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, di hukum, karena pembunuhan direncanakan (moord),
dengan hukuman mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara
sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
ü Pasal 359
Barang siapa karena salahnya
menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau
kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya juga dikemukakan sebuah
ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati
menghadapi kasus euthanasia.
ü Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja
menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau
memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat
tahun penjara.
Berdasarkan penjelasan pandangan
hukum terhadap tindakan euthanasia dalam skenario ini, maka dokter dan keluarga
yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat dijeratkan
dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara selama-lamanya empat tahun penjara.
VII.
KODE ETIK INDONESIA
1. Berpindah ke alam baka dengan
tenang daN aman tanpa penderitaan dan bagi
Mereka yang beriman dengan menyebutkan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir,
diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya obat penenang
3. Mengakhiri penderitaan hidup
orang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya
Euthanasia
Menurut Hukum Diberbagai Negara
Sejauh ini euthanasia diperkenankan
yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di Negara bagian Oregon di
Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa Negara dinyatakan sebagai kejahatan
seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark termasuk di Indonesia.
ü Euthanasia di Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan
undang-undang yang mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif
berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi Negara
pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang
mengalami sakit menahun dan tidak dapat disembuhkan lagi, diberi hak untuk
mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam KItab Hukum
Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih
dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur
kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri
berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya.
Pada tahun 2002,sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh
undang-undang Belanda, dimana seorang dokter yang melakukan euthanasia pada
suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
ü Euthanasia di Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory,
menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh
diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern
Territory menerima UU yang disebut “Right of the terminally ill bill” (UU
tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali
dipraktikkan, tetapi bulan maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat
Australia, sehingga harus ditarik kembali. Dengan demikian menurut aturan hukum
di Australia, tindakan euthanasia tidak dibenarkan.
ü Euthanasia di Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan
eutanasia pada akhir September 2002. Para pendukung eutanasia
menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan
sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga
mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu
kesan adaya upaya untuk menciptakan “birokrasi kematian”.
Belgia kini menjadi negara ketiga
yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dan negara
bagian Oregon di Amerika
).
Senator Philippe Mahoux, dari partai
sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut
menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah
merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya
dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.
ü Euthanasia di Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika.
Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang
hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak
mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan
dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon
Death with Dignity Act)[8]. Tetapi
undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup
ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan
untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan
keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara
lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis
(dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan
keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit
dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam
mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa
keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh
terhadap asuransi yang
dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga
simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang
Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan
UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern
Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang
pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.
ü Euthanasia di Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat
diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang
bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa
“membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan
hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri.”
Pasal 115 tersebut hanyalah
menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap
obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.
ü Euthanasia di Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan
Britania Raya (Britain’s Royal College of Obstetricians and Gynaecologists)
mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council
on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia
terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal
tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan
semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor
“kemungkinan hidup si bayi” sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia
masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian
juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari
Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara
tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.
KEPUSTAKAAN :
Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing
Concepts, Process and Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line
Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of Nursing,
Philadelphia : Lippincott